Kuantitatif memandang sosial
reality itu bersifat objective-singular, yang dimaksudkan adalah
kebenaran itu bersifat tunggal. Sementara penelitian kuantitatif lebih banyak
menggunakan logika hipotetiko verifikatif. Pendekatan tersebut dimulai dengan berpikir
deduktif untuk menurunkan hipotesis, kemudian melakukan pengujian di lapangan.
Kesimpulan atau hipotesis tersebut ditarik berdasarkan data empiris. Dengan
demikian, penelitian kuantitatif lebih menekankan pada indeks-indeks dan
pengukuran empiris. Peneliti kuantitatif merasa “mengetahui apa yang tidak
diketahui” sehingga desain yang dikembangkannya selalu merupakan rencana
kegiatan yang bersifat apriori dan definitive. Paradigma positivisme adalah pendekatan yang
diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika
deduktif dan penggunaan alat‐alat kuantitatif dalam
menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari
keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan
data‐data
yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan
dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif
(Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian
ditemukan hubungan di antara variabel‐variabel yang terlibat
di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab
akibat. Positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika
ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu
tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari
jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi halhal yang bersifat
berulang‐ulang
dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab
akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari
seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah
untuk menemukan hukum‐hukum
tersebut.
Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab
akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk
memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih
khusus.
Paradigma interpretivis, interpretasi dan pemahaman
di dalam ilmu sosial.
Pendekatan
ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha
memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi
fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada
realitas independen yang berada di luar mereka. Manusia secara terus menerus
menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan
pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam
ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk
memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman
subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas
sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman
mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini
memungkinkan terjadinya trade‐off
antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).
Paradigma critical.
Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untuk memperjuangkan
ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitian bukan
lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat
apolitis, namun lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara
berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang diyakini lebih baik. Karena itu,
dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang suatu fenomena berdasarkan
fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yang berdasarkan
keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara
ringkas, pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian
jawaban yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi
oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan
membangun dunianya agar lebih baik.
Aspek
kunci
|
Positivistik
|
Intrepretif
|
critical
|
1. Alasan
melakukan
penelitian
|
Untuk menemukan hukum
sebab akibat perilaku
manusia agar berbagai
kejadian dapat diramalkan
dan dikendalikan
|
Untuk memahami dan
menjelaskan tindakantindakan
manusia
|
Untuk membongkar mitos dan
memberdayakan manusia
untukmengubahmasyarakat
|
2. Asumsi
tentang sifat
realita sosial
|
Ada pola yang stabil dan
berulang‐ulang yang dapat
ditemukan
|
Realita diciptakan oleh
manusia sendiri melalui
tindakan dan interaksi
mereka
|
Realita sosial dibentuk dari
ketegangan, konflik dan
kontradiksi dari para pelakunya
|
3.Asumsi
tentang
sifat manusia
|
Mementingkan diri sendiri,
rasional, dan dibentuk
oleh berbagai kekuatan di
lingkungannya
|
Makhluk sosial yang
bersama‐sama
menciptakan arti untuk
digunakan sbagai
pegangan hdp
|
Kreatif, adaptif, berpotensi,
namun terjebak dalam ilusi dan
eksploitasi
|
4. Peran
common
sense
|
Berbeda dan kurang valid
dibandingkan ilmu
|
Sebagai pegangan yang
digunakan masyarakat
dalam kehidupan seharihari
|
Sebagai ilusi dan mitos yang
menyesatkan manusia sehingga
mereka sering bertindak
merugikan diri
sendiri
|
5.Sifat dari teori
yang dihasilkan
|
Berisikan definisi, aksioma,
dan hukum yang terkait
secara
logis‐deduktif
|
Gambaran tentang
berbagai sistem makna
dari sebuah kelompok
terbentuk dan menjadi
langgeng
|
Sebuah kritik yang mengungkap
kondisi yang sebenarnya untuk
menolong manusia
menemukan cara yang lebih
baik untuk mengubah hidupnya
|
6.Penjelasan
yang dianggap
baik
|
Terkait secara logis dengan
hukum‐hukum dan
berdasarkan fakta
|
Masuk akal bagi para
pelakunya dan dapat
membantu orang lain
memahami dunia para
pelakunya
|
Mampu membekali manusia
dengan alat‐alat yang
diperlukan untuk mengubah
dunia
|
7. Bukti yang
dianggap baik
|
Tidak bias, terukur secara
tepat, netral, dapat
diulangi hasilnya
|
Diperoleh langsung dari
pelakunya dalam sebuah
konteks yang spesifik
|
Mampu mengungkap mitos dan
ilusi
|
8.Nilai‐nilai
pribadi pelaku
dalam ilmu dan
penelitian
|
Ilmu dan penelitian harus
bebas nilai
|
Nilai‐nilai adalah bagian
tak terpisahkan dari
kehidupan. Tidak ada yang
salah/benar, yang ada
hanya “berbeda’’
|
Semua ilmu dan penelitian
harus memihak. Ada nilai‐nilai
yang dianggap benar dan salah
|
9.Metode
penelitian yang
digunakan
|
Alat‐alat kuantitatif dalam
bentuk survai, kuesioner,
model matematis, dan uji
statistik
|
Studi kasus spesifik
dengan penggunaan alatalat
kualitatif secara
intensif, meliputi
wawancara, observasi,
dan analisis dokumen
|
Dengan membaca literatur berupa
teks(buku) maupun artikel yang berhubungan dengan penelitian di perpustakaan.
|
0 komentar:
Posting Komentar