PANDANGAN UMAT BUDHA TENTANG MULTIKULTURALISME

1.      Buddha dan Multikulturalisme
Dari hasil wawancara kelompok kami, ada kata yang dapat kami tangkap yaitu, kata : orang buddha mengatakan suatu pendidikan belum dikatakan multikulturalisme apa bila belum mangamalkan 4 (empat) pilar :UUD, Pancasilah, ADRT, dan hineka Tunggal Ika. Bineka tunggal ika yang ada dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular sekitar tahun 1384 - 1385[1] menunjukkan bahwa betapa pedulinya ajaran Buddha terhadap fakta perbedaan yang ada di Nusantara. Tentunya ungkapan yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma tersebut pasti memiliki akar pemikiran yang bersumber dari ajaran atau nilai – nilai yang diyakini oleh agama Buddha.
Agama Buddha dalam konsep ketuhanannya mengakui bahwa Tuhan yang Maha Esa ( Tunggal )[2], akan tetapi selama ini Buddha identik dengan dewa – dewa sehingga muncul pemahaman bahwa agama Buddha memiliki banyak Tuhan, dalam kitab Arjuna Wijaya yang dikutip oleh Muhammad Yusri FM tertulis:
‘ndan kantenanya,haji,tan hana bheda sa hya/
hyang buddha rakwa Ceiwarajadewa/
kalih sameka sira sa pinakeu i dharma/
ri dharma s matuwi yan lepas adwit ya’//’,

yang artinya ;
demikian kenyataannya, tuanku raja,tidak ada bedanya Hyang Buddha  dan Hyang Ceiwa/keduanya adalah Esa, yang diwujudkan dalam dharma, dan didalam dharma juga akan mencapai hakekat-Nya yang Esa[3]


Dari kutipan diatas, dapat kita lihat bahwa dalam pandangan Buddha semua dharma/kebenaran dalam hal ini agama adalah sama dan saling selaras satu sama lain, sehingga sikap toleransi dan menghargai perbedaan sangat kental dalam ajaran Buddha.
Agama Buddha mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara,[4] dalam Dharma Agama diamanatkan bahwa umatnya harus mengamalkan ajaran agamanya dengan sebaik – baiknya utamanya mengamalkan ajaran agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan ( pluralitas ) dan multi budaya sedangkan Dharma Negara mengamanatkan umatnya untuk menjadi warga negara yang memiliki jiwa patriotis,cinta tanah air dan bangsanya[5].
Dalam kaitannya dengan meningkatkan pendidikan agama yang inklusif, nasionalisme, patriotism dan multicultural maka ada beberapa yang harus ditekankan, seperti yang ditulis oleh  Yulia Riswanti  dalam sebuah jurnal, diantaranya adalah :
1.      Cinta dan bakthi kepada tanah air, tumpah darah tempat dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang lain. Menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai agama dan budaya dengan mengembangkan sikap toleransi yang sejati.
2.      Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula member paresiasi dan penghormatan  yang sama terhadap berbagai budaya, utamanya budaya daerah  Nusantara.
3.      Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan latar belakang etnis, suku,agama dan profesi orang, karena semua manusia apapaun latar belakangnya adalah satu komunitas yang tunggal.
4.      Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan social, maka kesahatan dan kebahagiaan masyarakat akan daoat terwujudkan.
5.      Jadilah dermawan, jangan membuat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang-orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri.
6.      Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan atau memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap.
7.      Jangan membenci, dengki, iri hati dengan alas an apapun kepada siapa pun juga.
8.      Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu, tetapi palayanan masyarakat agar dilaksanakan langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain.
9.      Jangan sekali-kali melanggar hokum yang berlaku di Negara kita. Patuhilah perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga Negara teladan.
10.  Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk[6].
Secara sederhana multikulturalisme dalam pandangan Buddha dalam konteks KeIndonesiaan mengandung nilai – nilai patriotis, cinta tanah air dan bangsanya dengan semangat persatuan dan kesatuan ditengah aras perbedaan yang ada, hal ini telah dituliskan sejak lebih kurang 2600 Tahun yang lalu, kesadaran akan potensi yang dimiliki dan kemampuan berpikir prediktif dan futuristik tentang bangsa ini telah ditunjukkan oleh Mpu Tantular pada zamannya dengan karyanya.
Berangkat dari apa yang dipahami masyarakat bahwa keberagaman itu suatu kekayaan dan mereka melihatnya sebagai kekayaan yang lebih ke budaya, masyarakat memiliki nilai bahwa perbedaan itu adalah hal yang lumrah dan perbedaan itu terkadang menjadi pembeda pada saat tertentu dan tidak menjadi pembeda pada saat yang lain, contoh untuk kepentingan masyarakat, dari etnis dan budaya apa pun menginginkan kesejahteraan untuk lingkungannya, dan akan menjadi berbeda ketika hari raya agama karena tidak semua lapisan masyarakat merayakan hari raya agama tertentu. Multikultural itu akan menjadi masalah ketika perbedaan itu hanya untuk kepentingan politik atau kepentingan individu saja.
2.      Relevansi Konsep Multikulturalisme Buddha dengan Pendidikan Di Indonesia
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa pamahaman akan multikulturalisme dalam agama Buddha mengandung nilai – nilai inklusifitas, menghargai pluralitas dan juga mengandung nilai – nilai patriotis, cinta tanah air dan bangsanya dengan semangat persatuan dan kesatuan ditengah aras perbedaan yang ada, hal ini tentunya sangat sinergis dengan tujuan pendidikan Nasional.
Dalam Undang – undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan disebutkan bahwa :
“ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[7]

Dan juga dalam pasal 14 dijelaskan bahwa
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif  dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan kemajemukan bangsa.”[8]

Prinsip ajaran Buddha diatas jika coba kita sandingkan dengan Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dapat kita lihat terdapat banyak kesamaan dan kesinergisan diantara keduanya, oleh karena itu Nilai – nilai ajaran agama Buddha dengan Sisdiknas memiliki relevansi yang cukup positip dan dapat berjalan dengan sinergis dan simultan.
3.      Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Agama Buddha
A.    Dasar Filosofis Pendidikan dalam Agama Buddha
Dalam konsep pendidikan Agama Buddha, Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanang). Sebagai seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha). Penderitaan bersumber pada keinginan rendah (tanha). Keinginan (tanha) tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan. Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikshu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tidak ternoda”[9] oleh karena itu belajar merupakan jalan yang tepat untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan, bahkan sang Buddha mengibaratkan bagi orang yang tidak mau belajar maka masa tuanya sama dengan seperti sapi, dagingnya bertambah tapi kebijaksanaanya tidak berkembang.
Berangkat dari fundamental values pendidikan dalam agama Buddha tentunya kita bisa melihat bahwa tujuan dari pendidikan dalam agama Buddha adalah Pembebasan, pembebasan dari kebodohan, penderitaan, dan penindasan menuju kesadaran dan pencerahan. Senada dengan pendapar Paulo Freire yang dikutip oleh M.Agus Nuryatno bahwa pendidikan memiliki dua kekuatan sekaligus yaitu sebagai aksi cultural ( cultural workers ) untuk pembebasan atau sebagai aksi cultural untuk dominasi atau hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi system social yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo[10] pendidikan juga merupakan bagian dari jalan untuk melakukan transmisi nilai – nilai luhur, memperluas pengetahuan,meningkatkan kemampuan, memperbaiki sikap dan tingkah laku. Oleh Karena itu Pendidikan dalam perspektif Buddha merupakan usaha yang disengaja dan terencana untuk mendorong seseorang belajar dan bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat [11].
Dalam Agama Buddha, Pendidikan pendidikan bersifat terbuka, tidak membeda – bedakan golongan maupun kasta, bahkan Buddha menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu yaitu kasta Brahmana yang memonopoli kewenangan agama dan diskriminatif[12], oleh karena itu, pendidikan dalam agama Buddha sangat menerapkan prinsip egaliter dan mengapresiasi  perbedaan yang ada.
B.     Prinsip – Prinsip Belajar
Belajar adalah suatu proses yang terjadi dalam individu yang diaktifkan dan dikontrol oleh diri sendiri. Faktor eksternal tidak dapat menentukan keberhasilan belajar tanpa adanya kemauan dari si pelajar. “Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri, tak seorangpun dapat membuat suci orang lain” [13]
           Peran individu dalam proses belajar sangat menentukan keberhasilan belajar, namun tetap ada peran ekternal yang mempengaruhi akan tetapi tidak mendominasi. Oleh karena itu dorongan individu sangat dibutuhkan dalam proses belajar, sehingga peran pendidik adalah menyampaikan informasi dan memberikan motivasi kepada peserta didik dengan tujuan peserta didik mau dan mampu mengolah informasi dengan baik.
C.     Strategi dan Metode
Dalam proses pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran memiliki peran yang cukup siginifikan akan tersampainya informasi kepada peserta didik dengan baik, Buddha memiliki strategi khusus dalam pembelajaran, yaitu dengan mendahulukan orang – orang yang memiliki kualitas batin yang baik sehingga mampu menangkap ajarannya dan dapat mencapai pencerahan dalam waktu yang singkat[14].
Dalam proses pembelajaran, harus disusun perencanaan yang tepat, dan perencanaan pengajaran yang tepat harus mengandung beberapa factor, yaitu :
a.       Tujuan, yaitu sasaran yang hendak dicapai dalam pengajaran. Dalam agama Buddha, tujuan pengajaran Sang Buddha adalah pembebasan.
b.      Metode, yaitu salah satu alat untuk menyajikan bahan belajar dalam rangka pencapaian tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan kotbah-kotbah, dengan menunjukkan kekuatan batin, dengan praktek-praktek nyata, dan sebagainya.
c.        Alat Pelajaran, yaitu alat untuk lebih mengefisienkan pencapaian tujuan.
d.      Materi pelajaran, yaitu sarana untuk mencapai tujuan. Materi pelajaran Buddha adalah Dhamma (kebenaran).
e.      Strategi, yaitu kegiatan yang terpilih yang dapat memberikan bantuan siswa dalam menuju tercapainya tujuan. Buddha mengajarkan Dhamma dengan strategi-strategi khusus yang disesuaikan dengan kemampuan orang yang akan diajar.
f.        Siswa, yaitu obyek sekaligus subyek dalam pengajaran.
g.       Situasi, dalam perencanaan pengajaran harus didasarkan pada situasi yang ada untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi belajar mempengaruhi keadaan fisik dan psikis seseorang. Misalnya, latihan meditasi memerlukan lingkungan yang sesuai dengan obyek. Dalam sejarah disebutkan bahwa Sang Buddha memilih hutan sebagai lingkungan yang paling baik untuk melatih diri[15]
D.    Diskriminasi
Secara umum, dari lingkungan umat budha sekitar vihara tidak pernah mengalami diskriminasi tapi justru dari lingkungan lain mereka mengalami hal tersebut, dengan lingkungan masyarakat vihara mereka berhubungan baik bahkan sering kampung itu mengadakan acara bersama, ketika waisak mereka mengadakan bakti sosial pada penduduk kampung sekitar, mereka yang mengadakan fasilitas dan orang kampung yang mengelolanya, seperti ketikaacara HUT RI mereka mengadakan acara dan fasilitas yang digunakan seperti barang-barang perlengkapan atau kursi-kursi semuanya justru dari vihara karena mereka menyadari bahwa acara itu adalah bagian dari kampung dan harus sepakat dengan apa-apa yang ada di lingkungan tersebut.
Perlakuan diskriminasi yang pernah mereka alami contohnya seperti serangan berupa lemparan batu-batu dari orang-orang tidak dikenal dan kejadian tersebut terjadi ketika bulan ramadhan. Pelakuan itu didapatkan dari lingkungan lain karena mereka mengenal masyarakat lingkungan vihara dan tidak mungkin mereka melakukannya. Orang yang melakukannya adalah orang yang menganggap bahwa apa yang dilakukannya paling benar dan bisa dilihat bahwa orang seperti itu adalah orang yang tidak pernah mendapatkan pendidikan dengan semestinya sejak kecil, jadi apabila ada kekerasan yang terjadi pada vihara maka masalah itu bukan hanya masalah bagi vihara dan umat budha saja tetapi juga permasalahan warga kampung tersebut.
Vihara yang kami teliti lebih tua dibandingkan lingkungan atau kampung sekitar vihara tersebut, vihara didirikan tahun 1950an sementara kampung mulai berdiri tahun 1980an, jadi konsekuensinya jelas ketika seseorang atau suatu keluarga ingin membangun rumah di desa itu maka ia harus siap berdekatan atau berdampingan dengan vihara dan umat budha.




KESIMPULAN
Kebijaksanaan yang dimiliki oleh Sang Buddha Gotama yang terejawantah dalam perjalanan hidupnya telah direkam oleh para pengikutnya, yang akhirnya telah menginspirasi banyak orang di dunia, khususnya dalam pendidikan.
Dari beberapa uraian diatas, setidaknya dapat kita simpulkan bahwa   fundamental values pendidikan dalam agama Buddha tentunya kita bisa melihat bahwa tujuan dari pendidikan dalam agama Buddha adalah Pembebasan, pembebasan dari kebodohan, penderitaan, dan penindasan menuju kesadaran dan pencerahan.
Dalam konsep pendidikan dalam agama Buddha pula sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gotama tidak mengenal diskriminasi, diferensiasi, maupun dominasi kasta tertentu, melainkan semua dianggap setara dan sederajat serta memiliki hak yang sama, baik dari golongan atau kasta tertentu.





[1] Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme Dalam Ajaran Agama – Agama DI Indonesia, Journal Kependidikan Islam Vol.3,No 2,Juli – Desember 2008 Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hal.16
[2] Ibid
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Noersena Bambang, Religi dan Religiositas Bung Karno, ( Denpasar;Yayasan Bali Jagadhita Press, 2000 ), hal.27
[6] Muhammad Yusri,FM Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam Ajaran Agama – agama di Indonesia,  Jurnal Kependidikan Islam Vol.3 Nomor 2, Juli – Desember 2008. Hal 18 - 19
[7] Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Cetakan III,Juli 2009.hal 8
[8] Ibid, hal 8 -9
[10] M.Agus Nuryatno.Mazhab Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekusaan. Resist Book;Yogyakarta.2008. hal 39
[11] (Materi Pelatihan Pandita Penatar MBI, 2001: 1).
[12] http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8422.0
[13] ibid
[14] ibid
[15] ibid

paradigma



Kuantitatif memandang sosial reality itu bersifat objective-singular, yang dimaksudkan adalah kebenaran itu bersifat tunggal. Sementara penelitian kuantitatif lebih banyak menggunakan logika hipotetiko verifikatif. Pendekatan tersebut dimulai dengan berpikir deduktif untuk menurunkan hipotesis, kemudian melakukan pengujian di lapangan. Kesimpulan atau hipotesis tersebut ditarik berdasarkan data empiris. Dengan demikian, penelitian kuantitatif lebih menekankan pada indeks-indeks dan pengukuran empiris. Peneliti kuantitatif merasa “mengetahui apa yang tidak diketahui” sehingga desain yang dikembangkannya selalu merupakan rencana kegiatan yang bersifat apriori dan definitive. Paradigma positivisme adalah pendekatan yang diadopsi dari ilmu alam yang menekankan pada kombinasi antara angka dan logika deduktif dan penggunaan alatalat kuantitatif dalam menginterpretasikan suatu fenomena secara “objektif”. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa legitimasi sebuah ilmu dan penelitian berasal dari penggunaan datadata yang terukur secara tepat, yang diperoleh melalui survai/kuisioner dan dikombinasikan dengan statistik dan pengujian hipotesis yang bebas nilai/objektif (Neuman 2003). Dengan cara itu, suatu fenomena dapat dianalisis untuk kemudian ditemukan hubungan di antara variabelvariabel yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut adalah hubungan korelasi atau hubungan sebab akibat. Positivisme, ilmu sosial dan ilmu alam menggunakan suatu dasar logika ilmu yang sama, sehingga seluruh aktivitas ilmiah pada kedua bidang ilmu tersebut harus menggunakan metode yang sama dalam mempelajari dan mencari jawaban serta mengembangkan teori. Dunia nyata berisi halhal yang bersifat berulangulang dalam aturan maupun urutan tertentu sehingga dapat dicari hukum sebab akibatnya. Dengan demikian, teori dalam pemahaman ini terbentuk dari seperangkat hukum universal yang berlaku. Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk menemukan hukumhukum
tersebut. Dalam pendekatan ini, seorang peneliti memulai dengan sebuah hubungan sebab akibat umum yang diperoleh dari teori umum. Kemudian, menggunakan idenya untuk memperbaiki penjelasan tentang hubungan tersebut dalam konteks yang lebih khusus.
Paradigma interpretivis, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial.
Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Jadi fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia pada realitas bukan pada realitas independen yang berada di luar mereka. Manusia secara terus menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007). Untuk memahami sebuah lingkungan sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin hal ini memungkinkan terjadinya tradeoff antara objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Efferin et al., 2004).
Paradigma critical. Menurut Neuman (2003), pendekatan critical lebih bertujuan untuk memperjuangkan ide peneliti agar membawa perubahan substansial pada masyarakat. Penelitian bukan lagi menghasilkan karya tulis ilmiah yang netral/tidak memihak dan bersifat apolitis, namun lebih bersifat alat untuk mengubah institusi sosial, cara berpikir, dan perilaku masyarakat ke arah yang diyakini lebih baik. Karena itu, dalam pendekatan ini pemahaman yang mendalam tentang suatu fenomena berdasarkan fakta lapangan perlu dilengkapi dengan analisis dan pendapat yang berdasarkan keadaan pribadi peneliti, asalkan didukung argumentasi yang memadai. Secara ringkas, pendekatan critical didefinisikan sebagai proses pencarian jawaban yang melampaui penampakan di permukaan saja yang seringkali didominasi oleh ilusi, dalam rangka menolong masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan membangun dunianya agar lebih baik.

Aspek kunci
Positivistik
Intrepretif
critical
1. Alasan
melakukan
penelitian

Untuk menemukan hukum
sebab akibat perilaku
manusia agar berbagai
kejadian dapat diramalkan
dan dikendalikan

Untuk memahami dan
menjelaskan tindakantindakan
manusia

Untuk membongkar mitos dan
memberdayakan manusia
untukmengubahmasyarakat
2. Asumsi
tentang sifat
realita sosial

Ada pola yang stabil dan
berulang‐ulang yang dapat
ditemukan

Realita diciptakan oleh
manusia sendiri melalui
tindakan dan interaksi
mereka

Realita sosial dibentuk dari
ketegangan, konflik dan
kontradiksi dari para pelakunya

3.Asumsi
tentang
sifat manusia


Mementingkan diri sendiri,
rasional, dan dibentuk
oleh berbagai kekuatan di
lingkungannya

Makhluk sosial yang
bersama‐sama
menciptakan arti untuk
digunakan sbagai
pegangan hdp

Kreatif, adaptif, berpotensi,
namun terjebak dalam ilusi dan
eksploitasi

4. Peran
common
sense

Berbeda dan kurang valid
dibandingkan ilmu

Sebagai pegangan yang
digunakan masyarakat
dalam kehidupan seharihari

Sebagai ilusi dan mitos yang
menyesatkan manusia sehingga
mereka sering bertindak
merugikan diri sendiri
5.Sifat dari teori
yang dihasilkan


Berisikan definisi, aksioma,
dan hukum yang terkait
secara logis‐deduktif
Gambaran tentang
berbagai sistem makna
dari sebuah kelompok
terbentuk dan menjadi
langgeng

Sebuah kritik yang mengungkap
kondisi yang sebenarnya untuk
menolong manusia
menemukan cara yang lebih
baik untuk mengubah hidupnya

6.Penjelasan
yang dianggap
baik

Terkait secara logis dengan
hukum‐hukum dan
berdasarkan fakta

Masuk akal bagi para
pelakunya dan dapat
membantu orang lain
memahami dunia para
pelakunya

Mampu membekali manusia
dengan alat‐alat yang
diperlukan untuk mengubah
dunia

7. Bukti yang
dianggap baik


Tidak bias, terukur secara
tepat, netral, dapat
diulangi hasilnya
Diperoleh langsung dari
pelakunya dalam sebuah
konteks yang spesifik

Mampu mengungkap mitos dan
ilusi

8.Nilai‐nilai
pribadi pelaku
dalam ilmu dan
penelitian


Ilmu dan penelitian harus
bebas nilai

Nilai‐nilai adalah bagian
tak terpisahkan dari
kehidupan. Tidak ada yang
salah/benar, yang ada
hanya “berbeda’’
Semua ilmu dan penelitian
harus memihak. Ada nilai‐nilai
yang dianggap benar dan salah

9.Metode
penelitian yang
digunakan


Alat‐alat kuantitatif dalam
bentuk survai, kuesioner,
model matematis, dan uji
statistik

Studi kasus spesifik
dengan penggunaan alatalat
kualitatif secara
intensif, meliputi
wawancara, observasi,
dan analisis dokumen
Dengan membaca literatur berupa teks(buku) maupun artikel yang berhubungan dengan penelitian di perpustakaan.