1. Buddha dan Multikulturalisme
Dari hasil wawancara kelompok kami, ada
kata yang dapat kami tangkap yaitu, kata : orang buddha mengatakan suatu
pendidikan belum dikatakan multikulturalisme apa bila belum mangamalkan 4
(empat) pilar :UUD, Pancasilah, ADRT, dan
hineka Tunggal Ika. Bineka tunggal ika yang ada dalam kitab Sutasoma
karangan Mpu Tantular sekitar tahun 1384 - 1385[1]
menunjukkan bahwa betapa pedulinya ajaran Buddha terhadap fakta perbedaan yang
ada di Nusantara. Tentunya ungkapan yang ditulis oleh Mpu Tantular dalam kitab
Sutasoma tersebut pasti memiliki akar pemikiran yang bersumber dari ajaran atau
nilai – nilai yang diyakini oleh agama Buddha.
Agama Buddha dalam konsep ketuhanannya
mengakui bahwa Tuhan yang Maha Esa ( Tunggal )[2],
akan tetapi selama ini Buddha identik dengan dewa – dewa sehingga muncul
pemahaman bahwa agama Buddha memiliki banyak Tuhan, dalam kitab Arjuna Wijaya
yang dikutip oleh Muhammad Yusri FM tertulis:
‘ndan kantenanya,haji,tan hana
bheda sa hya/
hyang buddha rakwa
Ceiwarajadewa/
kalih sameka sira sa pinakeu i
dharma/
ri dharma s matuwi yan lepas
adwit ya’//’,
yang artinya ;
demikian kenyataannya, tuanku
raja,tidak ada bedanya Hyang Buddha dan
Hyang Ceiwa/keduanya adalah Esa, yang diwujudkan dalam dharma, dan didalam
dharma juga akan mencapai hakekat-Nya yang Esa[3]
Dari kutipan diatas, dapat kita lihat
bahwa dalam pandangan Buddha semua dharma/kebenaran dalam hal ini agama adalah
sama dan saling selaras satu sama lain, sehingga sikap toleransi dan menghargai
perbedaan sangat kental dalam ajaran Buddha.
Agama Buddha mengajarkan kepada umatnya
untuk melaksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara,[4]
dalam Dharma Agama diamanatkan bahwa umatnya harus mengamalkan ajaran agamanya
dengan sebaik – baiknya utamanya mengamalkan ajaran agama yang inklusif, yang
menghargai perbedaan ( pluralitas ) dan multi budaya sedangkan Dharma Negara
mengamanatkan umatnya untuk menjadi warga negara yang memiliki jiwa
patriotis,cinta tanah air dan bangsanya[5].
Dalam
kaitannya dengan meningkatkan pendidikan agama yang inklusif, nasionalisme,
patriotism dan multicultural maka ada beberapa yang harus ditekankan, seperti
yang ditulis oleh Yulia Riswanti dalam sebuah jurnal, diantaranya adalah :
1. Cinta dan bakthi kepada tanah air, tumpah darah tempat
dilahirkan, jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air
orang lain. Menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai agama dan budaya dengan
mengembangkan sikap toleransi yang sejati.
2. Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama,
setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula member
paresiasi dan penghormatan yang sama
terhadap berbagai budaya, utamanya budaya daerah Nusantara.
3. Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan latar
belakang etnis, suku,agama dan profesi orang, karena semua manusia apapaun
latar belakangnya adalah satu komunitas yang tunggal.
4. Pelihara kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan
lingkungan social, maka kesahatan dan kebahagiaan masyarakat akan daoat
terwujudkan.
5. Jadilah dermawan, jangan membuat sesuatu yang
menjadikan seseorang menjadi pengemis. Bantulah orang-orang yang memerlukan
sesuai kebutuhan dan menjadikan mereka mandiri.
6. Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan atau
memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap.
7. Jangan membenci, dengki, iri hati dengan alas an
apapun kepada siapa pun juga.
8. Jangan bergantung pada siapapun, usahakan untuk
melaksanakan sendiri sebanyak mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan
memiliki banyak pembantu, tetapi palayanan masyarakat agar dilaksanakan
langsung sendiri. Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain.
9. Jangan sekali-kali melanggar hokum yang berlaku di
Negara kita. Patuhilah perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga Negara
teladan.
10. Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya
dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk[6].
Secara sederhana multikulturalisme dalam
pandangan Buddha dalam konteks KeIndonesiaan mengandung nilai – nilai
patriotis, cinta tanah air dan bangsanya dengan semangat persatuan dan kesatuan
ditengah aras perbedaan yang ada, hal ini telah dituliskan sejak lebih kurang
2600 Tahun yang lalu, kesadaran akan potensi yang dimiliki dan kemampuan
berpikir prediktif dan futuristik tentang bangsa ini telah ditunjukkan oleh Mpu
Tantular pada zamannya dengan karyanya.
Berangkat dari apa yang dipahami
masyarakat bahwa keberagaman itu suatu kekayaan dan mereka melihatnya sebagai
kekayaan yang lebih ke budaya, masyarakat memiliki nilai bahwa perbedaan itu
adalah hal yang lumrah dan perbedaan itu terkadang menjadi pembeda pada saat
tertentu dan tidak menjadi pembeda pada saat yang lain, contoh untuk
kepentingan masyarakat, dari etnis dan budaya apa pun menginginkan
kesejahteraan untuk lingkungannya, dan akan menjadi berbeda ketika hari raya
agama karena tidak semua lapisan masyarakat merayakan hari raya agama tertentu.
Multikultural itu akan menjadi masalah ketika perbedaan itu hanya untuk
kepentingan politik atau kepentingan individu saja.
2. Relevansi Konsep Multikulturalisme
Buddha dengan Pendidikan Di Indonesia
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa pamahaman
akan multikulturalisme dalam agama Buddha mengandung nilai – nilai
inklusifitas, menghargai pluralitas dan juga mengandung nilai – nilai
patriotis, cinta tanah air dan
bangsanya dengan semangat persatuan dan kesatuan ditengah aras perbedaan yang
ada, hal ini tentunya sangat
sinergis dengan tujuan pendidikan Nasional.
Dalam Undang – undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan disebutkan
bahwa :
“ Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa,berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[7]
Dan juga dalam
pasal 14 dijelaskan bahwa
“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
cultural, dan kemajemukan bangsa.”[8]
Prinsip ajaran
Buddha diatas jika coba kita sandingkan dengan Undang – undang Sistem
Pendidikan Nasional tersebut dapat kita lihat terdapat banyak kesamaan dan
kesinergisan diantara keduanya, oleh karena itu Nilai – nilai ajaran agama
Buddha dengan Sisdiknas memiliki relevansi yang cukup positip dan dapat
berjalan dengan sinergis dan simultan.
3. Implementasi Pendidikan Multikultural
dalam Agama Buddha
A. Dasar Filosofis Pendidikan dalam Agama Buddha
Dalam konsep pendidikan Agama Buddha, Sang
Buddha adalah guru para dewa dan manusia (Satta Deva Manussanang). Sebagai
seorang guru, Sang Buddha mengajar para dewa dan manusia dengan berbagai macam
metode dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari penderitaan (dukkha).
Penderitaan bersumber pada keinginan rendah (tanha). Keinginan (tanha)
tergantung pada faktor lain yang mendahuluinya. Dalam rumusan sebab musabab
yang saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menempatkan di urutan
pertama kebodohan (avijja). “Yang lebih buruk dari semua noda adalah kebodohan.
Kebodohan merupakan noda yang paling buruk. Para bhikshu, singkirkan noda ini
dan jadilah orang yang tidak ternoda”[9] oleh karena itu belajar merupakan jalan yang tepat
untuk mengeluarkan manusia dari kebodohan, bahkan sang Buddha mengibaratkan
bagi orang yang tidak mau belajar maka masa tuanya sama dengan seperti sapi,
dagingnya bertambah tapi kebijaksanaanya tidak berkembang.
Berangkat dari
fundamental values pendidikan dalam agama Buddha tentunya kita bisa melihat
bahwa tujuan dari pendidikan dalam agama Buddha adalah Pembebasan, pembebasan
dari kebodohan, penderitaan, dan penindasan menuju kesadaran dan pencerahan.
Senada dengan pendapar Paulo Freire yang dikutip oleh M.Agus Nuryatno bahwa
pendidikan memiliki dua kekuatan sekaligus yaitu sebagai aksi cultural ( cultural workers ) untuk pembebasan
atau sebagai aksi cultural untuk dominasi atau hegemoni; sebagai medium untuk
memproduksi system social yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi
status quo[10]
pendidikan juga merupakan bagian dari jalan untuk melakukan transmisi nilai –
nilai luhur, memperluas pengetahuan,meningkatkan kemampuan, memperbaiki sikap
dan tingkah laku. Oleh Karena itu Pendidikan dalam perspektif Buddha merupakan
usaha yang disengaja dan terencana untuk mendorong seseorang belajar dan
bertanggung jawab, mengembangkan diri atau mengubah perilaku, sehingga
bermanfaat bagi kepentingan individu dan masyarakat [11].
Dalam Agama Buddha, Pendidikan pendidikan bersifat
terbuka, tidak membeda – bedakan golongan maupun kasta, bahkan Buddha
menyangkal adanya otoritas segolongan masyarakat tertentu yaitu kasta Brahmana
yang memonopoli kewenangan agama dan diskriminatif[12],
oleh karena itu, pendidikan dalam agama Buddha sangat menerapkan prinsip
egaliter dan mengapresiasi perbedaan
yang ada.
B.
Prinsip
– Prinsip Belajar
Belajar
adalah suatu proses yang terjadi dalam individu yang diaktifkan dan dikontrol
oleh diri sendiri. Faktor eksternal tidak dapat menentukan keberhasilan belajar
tanpa adanya kemauan dari si pelajar. “Suci atau tidak suci tergantung pada
diri sendiri, tak seorangpun dapat membuat suci orang lain” [13]
Peran individu dalam
proses belajar sangat menentukan keberhasilan belajar, namun tetap ada peran
ekternal yang mempengaruhi akan tetapi tidak mendominasi. Oleh karena itu
dorongan individu sangat dibutuhkan dalam proses belajar, sehingga peran
pendidik adalah menyampaikan informasi dan memberikan motivasi kepada peserta
didik dengan tujuan peserta didik mau dan mampu mengolah informasi dengan baik.
C. Strategi dan Metode
Dalam proses pembelajaran, strategi dan metode
pembelajaran memiliki peran yang cukup siginifikan akan tersampainya informasi
kepada peserta didik dengan baik, Buddha memiliki strategi khusus dalam
pembelajaran, yaitu dengan mendahulukan orang – orang yang memiliki kualitas
batin yang baik sehingga mampu menangkap ajarannya dan dapat mencapai
pencerahan dalam waktu yang singkat[14].
Dalam proses pembelajaran, harus disusun perencanaan yang tepat, dan
perencanaan pengajaran yang tepat harus mengandung beberapa factor, yaitu :
a.
Tujuan, yaitu sasaran yang hendak
dicapai dalam pengajaran. Dalam agama Buddha, tujuan pengajaran Sang Buddha
adalah pembebasan.
b.
Metode, yaitu salah satu alat untuk
menyajikan bahan belajar dalam rangka pencapaian tujuan. Buddha mengajarkan
Dhamma dengan kotbah-kotbah, dengan menunjukkan kekuatan batin, dengan
praktek-praktek nyata, dan sebagainya.
c.
Alat Pelajaran, yaitu alat untuk lebih
mengefisienkan pencapaian tujuan.
d.
Materi pelajaran, yaitu sarana untuk
mencapai tujuan. Materi pelajaran Buddha adalah Dhamma (kebenaran).
e.
Strategi, yaitu kegiatan yang terpilih
yang dapat memberikan bantuan siswa dalam menuju tercapainya tujuan. Buddha
mengajarkan Dhamma dengan strategi-strategi khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan orang yang akan diajar.
f.
Siswa, yaitu obyek sekaligus subyek
dalam pengajaran.
g.
Situasi, dalam perencanaan pengajaran
harus didasarkan pada situasi yang ada untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Kondisi belajar mempengaruhi keadaan fisik dan psikis seseorang. Misalnya,
latihan meditasi memerlukan lingkungan yang sesuai dengan obyek. Dalam sejarah
disebutkan bahwa Sang Buddha memilih hutan sebagai lingkungan yang paling baik
untuk melatih diri[15]
D. Diskriminasi
Secara
umum, dari lingkungan umat budha sekitar vihara tidak pernah mengalami
diskriminasi tapi justru dari lingkungan lain mereka mengalami hal tersebut,
dengan lingkungan masyarakat vihara mereka berhubungan baik bahkan sering
kampung itu mengadakan acara bersama, ketika waisak mereka mengadakan bakti
sosial pada penduduk kampung sekitar, mereka yang mengadakan fasilitas dan
orang kampung yang mengelolanya, seperti ketikaacara HUT RI mereka mengadakan
acara dan fasilitas yang digunakan seperti barang-barang perlengkapan atau
kursi-kursi semuanya justru dari vihara karena mereka menyadari bahwa acara itu
adalah bagian dari kampung dan harus sepakat dengan apa-apa yang ada di
lingkungan tersebut.
Perlakuan diskriminasi
yang pernah mereka alami contohnya seperti serangan berupa lemparan batu-batu
dari orang-orang tidak dikenal dan kejadian tersebut terjadi ketika bulan
ramadhan. Pelakuan itu didapatkan dari lingkungan lain karena mereka mengenal
masyarakat lingkungan vihara dan tidak mungkin mereka melakukannya. Orang yang
melakukannya adalah orang yang menganggap bahwa apa yang dilakukannya paling
benar dan bisa dilihat bahwa orang seperti itu adalah orang yang tidak pernah
mendapatkan pendidikan dengan semestinya sejak kecil, jadi apabila ada
kekerasan yang terjadi pada vihara maka masalah itu bukan hanya masalah bagi
vihara dan umat budha saja tetapi juga permasalahan warga kampung tersebut.
Vihara yang kami teliti lebih tua
dibandingkan lingkungan atau kampung sekitar vihara tersebut, vihara didirikan
tahun 1950an sementara kampung mulai berdiri tahun 1980an, jadi konsekuensinya
jelas ketika seseorang atau suatu keluarga ingin membangun rumah di desa itu
maka ia harus siap berdekatan atau berdampingan dengan vihara dan umat budha.
KESIMPULAN
Kebijaksanaan
yang dimiliki oleh Sang Buddha Gotama yang terejawantah dalam perjalanan
hidupnya telah direkam oleh para pengikutnya, yang akhirnya telah menginspirasi
banyak orang di dunia, khususnya dalam pendidikan.
Dari beberapa
uraian diatas, setidaknya dapat kita simpulkan bahwa fundamental values pendidikan dalam agama
Buddha tentunya kita bisa melihat bahwa tujuan dari pendidikan dalam agama
Buddha adalah Pembebasan, pembebasan dari kebodohan, penderitaan, dan
penindasan menuju kesadaran dan pencerahan.
Dalam konsep
pendidikan dalam agama Buddha pula sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha
Gotama tidak mengenal diskriminasi, diferensiasi, maupun dominasi kasta
tertentu, melainkan semua dianggap setara dan sederajat serta memiliki hak yang
sama, baik dari golongan atau kasta tertentu.
[1]
Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme Dalam Ajaran Agama –
Agama DI Indonesia, Journal Kependidikan Islam Vol.3,No 2,Juli – Desember 2008
Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
hal.16
[2]
Ibid
[3]
Ibid
[4] Ibid
[5]
Noersena Bambang, Religi dan Religiositas Bung Karno, ( Denpasar;Yayasan Bali
Jagadhita Press, 2000 ), hal.27
[6]
Muhammad Yusri,FM Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam
Ajaran Agama – agama di Indonesia,
Jurnal Kependidikan Islam Vol.3 Nomor 2, Juli – Desember 2008. Hal 18 -
19
[7]
Undang – undang Sistem
Pendidikan Nasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Cetakan III,Juli 2009.hal 8
[8]
Ibid, hal 8 -9
[10]
M.Agus Nuryatno.Mazhab
Pendidikan Kritis, Menyingkap Relasi Pengetahuan Politik dan Kekusaan. Resist
Book;Yogyakarta.2008. hal 39
[11]
(Materi Pelatihan Pandita Penatar MBI, 2001: 1).
[12]
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=8422.0
[13]
ibid
[14]
ibid
[15]
ibid
0 komentar:
Posting Komentar